Sabtu, 25 Juli 2009

CERPEN : AJAIB


Aku ingin menggambar dunia dengan sketsa wajahnya. Membuatnya tidak bisa berkata – kata bahkan hanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Aku ingin menempeli langit malam dengan bintang - bintang yang disusun membentuk namanya. Membuatnya menutup mata sembari berharap ketika membuka mata nanti dirinya telah lupa bagaimana caranya membaca. Aku ingin membuat segalanya menjadi halal. Tapi aku telah urung sebelum semuanya dimulai. Aku telah terlebih dulu menutup semuanya dengan kunci kecil bernama restu.

Malam panjang dengan becangkir – cangkir kopi dan tumpukan kertas gambar serta monitor yang melotot sampai pagi adalah hal biasa. Tapi tidak malam ini. aku merasa seperti tidak biasa. Lebih liar dan bernafsu dari biasanya untuk menyetubuhi semua gambar yang harus aku buat. Tanpa memilih pulang melainkan bertahan dengan alasan lembur padahal tanggalan dimejapun baru menunjukan angka 2, situasi awal bulan dimana tak ada satupun materi yang harus dikejar dalam beberpa hari setidaknya untuk satu minggu mendatang sehingga alasan lemburku menjadi tidak lebih dari sekedar pembenaran. Semua orang pulang lebih cepat dari biasanya hari ini, bahkan beberapa di antaranya sudah memilih libur dari kemarin, alasannya jelas. Angka 3 pada tanggalan di meja resepsionis, ruang redaksi, ruang HRD sampai dimejaku telah diarsir merah. Besok libur, besok hari besar, besok ada pesta dan besok ada sebuah perayaan. Bang Juki satpam, orang yang terakhir pulang sempat menggerutu “ kok ga ikut pulang ajah ‘den ? ga siap – siap buat besok ? saya ajah mau pulang siap – siap buat besok“. Aku hanya tersenyum. Aku merasa terlalu siap dan telah mempersiapkan semuanya sebelum semua orang bersiap – siap. Aku merasa harus benar – benar menikmati piring besar itu besok. Dengan hati kosong dan kepala yang kosong pula sehingga itulah alasan yang lebih tepat untuk memilih tetap tinggal dikantor hingga tengah malam begini.

Aku seperti tengah berada dalam arena pacu dimana lawan tandingku adalah kuda pacu terbaik dari Barcelona. Aku juga seperti telah berada diatas meja judi paling bergengsi meladeni penjudi tersohor dari las vegas. Dan aku tahu aku pasti kalah, cepat atau lambat. Kadang hati kecilku terasa bertindak berlebihan juga tidak manusiawi, meloncat – loncat, menyoraki serta menyemangati agar aku mampu berlari lebih kencang dari si kuda pacu Barcelona itu, membisikan mantara – mantara juga rangkaian strategi untuk mampu lebih lancang beraksi mengalahkan penjudi tersohor dari Las Vegas itu. Tapi aku sungguh tak bisa menerima itu, akal sehatku mencerna hal lain yang lebih logis untuk dikemukakan dan dari itu bukan cuma aku yang kalah dengan mengangkat kedua tangan dipinggiran arena pacuan karena tidak pernah memutuskan untuk melakukan start apalagi berlari juga degan suka rela menyerahkan seluruh taruhan dan tersenyum sebelum kartu dibagikan, hati kecilku juga kalah sebelum berhasil meloncat, menyoraki dan menyemangati aku.

Aku tahu malam ini tidak biasa dan tidak akan mungkin bisa menjadi biasa. Keanehan wajar dari cerita yang jelas terbaca alur dan endingnya. Diluar jangkauanku, akulah penulis dan diluar jangkauanku pula aku sejujurnya sama sekali tidak menginginkan alur manis yang berending getir. Keanehan lain menyusul, aku seperti begitu takut kehilangan dua orang lajang yang yang ramai bertukar pikiran, dua orang lajang yang sibuk memperdebatkan jodoh dan dua orang lajang yang kurang kerjaan dengan terus mempertanyakan mengapa hidup begini juga begitu.

Tak ada yang lebih sederhana dari keinginan untuk membahagiakan, menghentikan perdebatan soal jodoh dan memberi kesempatan kepadanya untuk menemukan lawan betukar pikiran soal hidup yang lebih pantas karena dilakukan diatas ranjang sebelum tidur atau ketika terbangun ditengah malam. Seorang teman hanya akan melepaskan dengan tidak rela namun harus penuh keikhlasan karena selamanya hanya akan diperlakukan sebagai teman atau tidak sama sekali menjadi apa – apa.
Sadar atau tidak, ketakutan itu melebar sampai keujung jari. Lemas dan tak mampu digerakan kecuali untuk meremas nadi demi membuktikan keyataan yang sekali lagi diluar jangkauan pemilik cerita, alur mengalir bebas dari awal menuju akhir. Malam ini adalah malam terkahir, malam terakhir seorang lajang meminta kata dari seorang lajang lainnya.

“ kira – kira bakal bagiamana yaa hidup aku setelah ini. Apa aku akan lebih bahagia dari sekarang ? atau malah tidak akan lebih baik. Kamu yang paling tahu siapa dan seperti apa aku “

Suara itu memecah keheningan setelah lebih dari setengah jam hanya saling menatap dan berziarah dilubang pikiran masing.

“ baru tahu kalo ada calon pengantin yang bisa kabur dimalam terakhir masa lajangnya. Pake adat apa emang ? “

Aku tertawa keras. Berusaha menghantam dinding – dinding biru yang pelan – pelan mencair menjadi putih. Berusaha menghidupkan semangat dua lajang bodoh yang saling menemukan untuk menjawab pertanyaan masing – masing. berusaha sebisanya untuk menghindar dari suasana dingin yang menghadirkan romantis karena akan berarti petaka. Semuanya haruslah wajar dan sesuai, begitu kemenangan yang kini aku bayangkan.

Matanya liar menditeksi keanehan, berdiri dan melangkah maju dengan cepat.

“ aku bikinin kamu kopi dah. tunggu yaa “

Baru saja aku akan berkilah, tangannya mencengkram pergelangan tanganku, keras sekali. Aliran darahku berhenti dan yang kurasakan hanya aliran darahnya. Aku benar – benar tidak menginginkan ini. Kekalahan seorang teman akan menghasilkan pecundang besar setelah bantal bulu penyimpan kunci ditemukan dan bunyi restu yang sebenarnya akan terdengar ; aku yang menginginkamu. Bukan untuk merestuimu dengan orang lain. Aku ingin bersanding denganmu.

“ ada yang belum kamu sampein ke aku ? “

Aliran darahnya mengalir deras merambati lenganku dan kini aku tahu, ketakutan terbesarku bukanlah karena lajang itu akan jadi istri orang pagi nanti tapi adalah ketika darahnya mengalir sampai dijantungku dan menemukan bantal bulu angsa yang menyimpan kunci. aku takut dia menemukan dirinya dalam rupa yang lain dalam selimut hatiku. Dia yang bergaun putih dan kugandeng tangannya menuju altar. Dia yang kusampul rapi dengan bentuk paling bercahaya. Dia yang tanpa permisi aku pendam dalam hati. Tapi jikalaupun dia tak mampu menemukannya lewat aliran darahnya karena terlalu dalam aku kubur, aku sungguh ingin menjawab “ iya “ atas pertanyaannya. Membongkar sendiri padanya varian cinta yang telah hadir lewat kekagumanku sejak pertama kali mata bertemu 4 tahun yang lalu,, rasa nyaman yang telah dia hadirkan lewat simpatiku padanya ketika berada dalam satu tim untuk meliput bencana tsunami di Aceh 3 tahun yang lalu ( kau tahu, aku melompat kegirangan dalam toilet ketika hasil rapat memutuskan aku dan kamu satu tim. Aku senang luar biasa. Dan cuma tuhan dan kloset yang tahu itu hingga hari ini ), juga perasaan suka ketika dengan sendirinya kukenal pribadinya sebagai wanita besi, perempuan perkasa, penulis berbakat, teman bicara, minum kopi dan bicara terbaik, jalan keluar dan segalanya. Lalu yang terakhir aku ingin dengan sendirinya memberinya kunci dan menunjukan desain undangan pernikahan aku dengannya yang kubuat satu setengah tahun lalu tepat ketika pulang dari syukuran kenaikan pangkatnya sebagai managing editor. Aku ingin sekali membongkarnya, hidup atau mati, kosong atau berisi.

“ apa yang paling berharga buat aku selain kebahagiaan kamu ‘ gi. Setiap waktu sebagai teman terbaik aku selalu meminta agar tuhan memberkahimu laki – laki yang baik serta sesuai dengan harapanmu dan bagiku Hagi tepat untuk menjadi pendamping hidupmu. Dia mampu menguatkanmu dan itu telah terbukti “

Hati tergetar dan kesimpulannya aku memang tak mampu merelakan tapi aku mampu mengikhlaskan. Begitu ingin aku menambahkan kalimat terakhir deng “ tidak seperti aku yang juga bergantung padamu ". Tapi aku rasa itu yang terbaik, itu yang cukup untuk mengukur kadar keiklashanku.

“ tapi aku takut hanya aku yang bergantung padanya dan dia sama sekali tidak “
Nafas panajang. Huffffffffh. Aku kembali menahan.

“ dia juga membutuhkanmu, itu alasannya mengapa dia meminangmu dan memilih menikahimu pagi nanti. Gidupmu pasti akan lebih baik dari kemarin dan hari ini. Ga ada apa – apa yang kurang tapi sebaliknya, bertambah “

Gigi’ melangkah maju. Jarak kami kini semakin dekat. Dia berhasil membuatku gugup. Sekali lagi tubuhku kaku dan lagi – lagi ini diluar jangkauanku. Aku baru saja berhasil menghindar dan menyakinkan dia bahwa semua akan baik – baik saja. Aku tak ingin dia menemukan indicator keanehan lain yang menjadi alasan malam ini menjadi tidak biasa dan melontarkan pertanyaan – pentanyaan intimidatif yang kupastikan apabila dilemparan. Aku akan semakin gugup dan tak mampu mengucapkan apa – apa maka itulah jawabannya.

“ aku pengen meluk kamu ‘

Tubuhnya telak menubruk jasad bekuku. Dia tak menemukan apa yang aku takutkan. Cengkraman tangannya begitu kuat dan aku yakim juga mati terpanggang aliran darahnya yang panas.

“ ayo kita pulang. Sudah jam 2 pagi. Orang rumah akan kebingungan kehilangan anak gadis yang akan jadi istri orang beberapa jam lagi “

Aku menyambar kantong plastic berisi sampah dan menggandeng tangannya. Senyumnya mengembang mengiringi langkah. Cukup lama aku menatap wajahnya, membalas senyum dan menyampaikan pesan bahagia tanpa bahasa. Pelan – pelan lenggang, pelan – pelan kosong.

“ hati – hati dijalan. Pelan – pelan sampe d rumah. Tenangin diri. Sempetin tidur “

Aku berbicara dengannya ketika motorku dan mobilnya secara beriringan keluar pelataran. Sekali lagi kudapati senyum mengembang dengan kepala naek turun pertanda setuju. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya untuk terakhir kalinya.

“ gi’ aku ga datang yaa tar. Aku usahain tapi takutnya ketiduran “
Belum sempat mimiknya berubah mengerutu aku membelokan sepeda motor kekanan, mengayunkan tangan untuk mendaratkan katong plastic sampah didalam tong sampah depan jalan. Aku tak siap ditanyai alasan apalagi diganggu oleh mimic menggerutunya. Aku ikhlas tapi tetap tidak rela. Dan begitulah hsilnya. Aku melaju sebisa – bisanya, membentuk garis lurus yang bercahaya terang. Menerbangkan keinginan untuk bersama dengan kemudian memilih bersyukur pernah memiliki rasa yang istimewa. Aku memang tidak pernah berani memulai, melakukan start dan berpacu dengan kuda manapun atau memiliki keberanian untuk meladeni jawara judi manapun. Aku telalu takut kehilangan apa yang telah aku miliki. Bagiku dia ajaib,

Tiga kali kantong jaketku terusik getaran panjang. Aku tahu pasti panggilan itu darinya. Jalanku lurus dan tak berbelok. Lurus mentap kedepan dan jangan pernah berbalik. Tapi aku tak semampu itu. Kutepikan motorku, kucemput getaran berikut. Sekali getar. Pendek saja. Hanya sebuah pesan.

“ aku setuju kamu tidak usah datang kepernikahanku. Aku juga tak akan sanggup melihatmu “

Nafasku tersesak. Tercekat dikerongkongan. Ada yang berhenti. Entah waktu, entah denyut nadi. Sekujur tubuhku lemas.

“ aku datang untukmu malam ini dan aku menemukan mimpimu di tong sampah setelah kamu memutuskan pergi. Bagiku kamu juga ajaib. Makasih buat semuanya “

Sekali lagi diluar jangkauanku. Tabrakan dashyat ulah kecerobohanku membongkar habis kedok mati kutu yang aku kunci rapat. Perasaanku padanya ternyata tak terkunci mati dalam hati. Perasaanku padanya mengendap pada tiap baris kata dan satu sketsa undangan pernikahan dengan nama terang IMAM ILYASA dan AGHITA ANINDIAH, nama aku dan dia

Belai udara kembali menjadi biasa, helai nafas kembali menjadi ringan. Lebih biasa dan ringan dari sebelumnya.

Kemana perginya perasaan yang tak terungkapkan ? kemana perginya pertanyaan yang tak menemukan jawaban ? Aku rasa mengembang dan membungkus pemiliknya selamanya yang juga hanya ingin bahagia. (*.-)



--------------------------------------------------

Diselesaikan 10.23am – 26.07.09
( begadang semalaman, membayangkan dan mengucap syukur memliki tuan putri yang mampu mengungkap rasa sayang dan cinta. Pasti dia masih tidur pulas. Mwuach )

Jumat, 24 Juli 2009

selamat datang di titik nol

ini adalah bagian lama yang bermetamorfosis menjadi baru, bagian lama yang bersinergi dalam bentuk baru dan bagian lama yang baru dicoba lagi dalam bentuk baru. ini adalah bagian yang walaupun telah melingkar - lingkar selama beberapa tahun terakhir tetap saja kembali ke titik yang sama titik nol. bagian lama yang menjadi baru itu adalah "niat untuk menulis, keinginan untuk berbagi dan tentu saja keinginan untuk bisa mengatakan puas telah melakukan sesuatu yang saya senangi"

selamat datang dititik nol
selamat datang pada titik yang menjadi awalan juga akhiran ( menurut saya )
selamat datang pada lingkaran yang bulat karena kalau tidak bulat tentu bukan titik ( kurang lebih titik itu bulat ) dan tidak putus - putus karena kalau putus - putus tentulah bukan nol .
selamat datang dititik nol, tempat dimana hal - hal tidak penting menjadi penting dan bukan siapa - siapa akan menjadi siapa - siapa.

salam