Rabu, 26 Agustus 2009

cerpen : ... dan kita bukan dua orong tolol


Dia bertanya sampai kapan aku akan mengenakan celana jeans, berkaos, berambut gondrong, brewokan dan yang paling klise, kapan aku berhenti merokok. Dia baru saja pulang, melempar tas jinjing LV 6 jutanya ke sova dan ikut ambruk setelahnya. Seperti biasa aku tak menjawab, alih – alih untuk menggubrispun tidak. Tapi aku juga tak berniat apalagi sampai berfikir untuk mengelak ataupun berkilah, karena seperti biasa aku hanya menatapnya dan tersenyum betapa sudah sepuluh tahun lebih pertanyaan itu hadir dan selalu dengan skema yang sama. Jeans, kaos, rambut gondrong, brewok dan rokok. Susunannya tak pernah berubah dan sebelum kalimat yang tidak pernah berubah berikutnya keluar karena kembali hanya menemukan aku yang memandangi wajahnya dan tersenyum, aku cepat – cepat memotongnya.

“ kalo kamu ga ikutin mau aku. Aku bakalan pergi ninggalin kamu “

Mata kami bertemu dan dia tak mampu menahan.

“ dasar keras kepala. ga pernah mau dengerin apa kata aku dan skarang malah bisanya cuma ngejek “

“ aku bener – bener bakal ninggalin kamu “

Aku berusaha menahan senyumku berikutnya, merubahnya dengan aksi “ehem – ehem“ demi menyembunyikan kenyataan menggelitik karena kalimat terakhirnya juga sama banyaknya diucapkan dengan pertanyaan - pertanyaan dan ancaman yang diberikannya perihal semua hal yang tak pernah tulus diterimanya. Tapi kenyataannya dia selalu pulang. Lebih cepat dihari senin, rabu, jumat dan selalu terlambat dihari – hari selain hari – hari itu. Tapi sekali lagi dia selalu pulang. pulang dengan membawa aroma yang paling sensitif untuk aku baui, Membawa raut simpati yang selalu aku senangi dan tentu saja pribadi terdekat yang dengan biasa – biasa saja kujadikan sasaran untuk mencemplungkan diri dengan seribu satu ide dan cerita.

Seperti biasa aku menemukan bibirnya masih tetap merah merekah, matanya masih berkilau cemerlang walaupun setengah tubuhnya reot di sandaran sova. Sebuah kenyataan bertahun – tahun yang tak pernah mampu terelakkan betapa aku memang tidak pernah tidak tertarik padanya. Selalu tertarik dan bahkan saking dalamnya aku sendiri kini tak mampu lagi mengukur dikedalaman berapa aku berada. Aku telah Jauh meninggalkan batas. Dilapisan langit keberapa atau dizona laut yang seperti apa aku berada, aku benar – benar tidak tahu.

Kadang aku meyakinkan diri dengan asumsi bahwa telah begitu banyak batas yang kami lewati. Telah banyak juga situasi sulit yang kami selesaikan dengan alasan. Alasan sederhana yang bagi kami, aku dan dia adalah masuk akal. Tak ada lagi batas, tak ada lagi situasi yang tak mampu kami lalui karena kami saling menginginkan satu sama lain.

Bagiku dia adalah alasan, dia adalah jawaban. Dia adalah alasan mengapa hidup seorang laki – laki biasa menjadi tidak biasa dan dia adalah jawaban atas pertanyaan apa yang mampu membuat laki – laki tidak biasa itu menjadi luar biasa. Dia adalah kalimat ambigu yang menghimpun kutub positif juga negatif dari yang laki – laki tidak biasa karena yang akhirnya merasa begitu luar biasa.

“ kamu ga bakal bisa terus - terusan hidup dengan caramu sendiri, menepikan semua kenyataan bahwa ada banyak orang lain disekitarmu dan kamu tak akan bisa terus menerus merasa aman dengan dunia kecil yang kau buat sendiri “

Bibir merah itu kembali basah dengan kalimat, mata cemerlang itu kembali menyoroti tubuhku yang kini sedikit demi sedikit memilih tenggelam dalam posisi setengah tidur. Aku tahu kali ini dia kembali berucap tentang harapan, berujar tentang keinginannya untuk melihat aku dapat hidup lebih baik sebagai orang yang dicintanya. Jalan kebersamaan kami telah begitu panjang. Panjang karena kami telah memulainya dengan titik pertemuan dan kedekatan dimasa remaja, menjalani cerita beranjak dewasa dengan perasaan tipis yang harus didera terpisahnya jarak dan waktu, pencarian juga pertemuan dalam kedewasaan dan sikap berbesar hati karena akhirnya kami hanya harus menerima kenyataan yang memang tak selamanya sesuai dengan harapan harapan kecil yang dipupuki hingga tumbuh besar dengar akar tunggal yang menjalarkan serabutnya disetiap jengkal petak lahan yang kami miliki.
“ dunia memang mengagumimu yang mereka sebut inspiring karena selalu berhasil membagi habis setiap serat cerita untuk disebut pelajaran. Dengan alasan itu juga sampai detik ini aku selalu ingin menjadi bagian terpenting dari kisah hidup yang akan kamu bagi kepada banyak orang. Setiap malam suaramu selalu dinantikan banyak orang. Mereka yang mendaulatmu sebagai lagu tidur terbaik yang mereka miliki, mereka yang mendaulatmu sebagai puisi terindah yang akan mereka resapi. Juga mereka yang mengukuhkanmu sebagai guru hidup yang akan selalu berbagi cerita – cerita berharga untuk bekal mereka diesok pagi. Aku juga ingin mendengarkan siaranmu seperti dulu. Seperti sebelum semua kenyataan ini kita terima sebagai takdir “

Sampai disini aku tahu ada yang tak biasa. Ada yang tak wajar diluar pertanyaan, ancaman juga harapan yang berulang kali disampaikannya setiap sore atau menjelang malam dipelukanku. Aku tahu dia tak pernah sedikitpun menyentil tentang masa lalu apalagi kenyataan yang sebenarnya karena begitulah inti dari kesepakatan yang kami buat.

“ jangan pernah bertanya mengapa kita begini, Jangan pernah peduli dengan kenyatan bahwa yang terbaik untuk kita saat ini hanya keadaan seperti ini dan jangan pernah juga menyalahkan keadaan maupun masa lalu karena semuanya benar – benar ada luar harapan kita masing – masing “
Dia hanya diam saat itu, merebahkan tubuhnya dalam dekapanku. Membuatku mengucapkan kalimat itu dengan hati – hati, sangat hati – hati. Membisikan dikupingnya dengan sangat pelan sambil berharap dia akan dengan cepat mengangguk. Aku baru saja berhasil menemukanya kembali, perpisahan membuat kami harus menata kembali perasaan masing – masing sehingga aku merasa cukup pantas untuk meragu. apakah penawaranku akan diterimanya ?. Keadaan yang telah berubah 180 derajat dari saat aku melepaskannya dulu membuatku semakin punya cukup alasan untuk ditolak. Tapi dengan pelan kemudian dia mengangguk, persis ketika semua pertanyaan dikepalaku ditutup dengan tanda tanya yang sangat besar.

“ aku sungguh – sungguh teramat sangat mencintaimu. Dari saat kita bertemu, dekat, bercinta lalu berpisah. Dan hari inipun disaat tuhan mempertemukan kita kembali, perasaan itu masih ada dan tak pernah berubah sedikitpun. Perasaanku masih tetap sama, aku masih tetap mencintaimu dan karna itu aku datang. Aku kembali padamu ‘aquila “

Sekat – sekat perpisahan itu seperti luruh dihantam badai. Kata demi kata yang keluar serasa mampu menjadi materi baru yang mengisi kekosongan energi dalam ruang hidupku. kali itu adalah kali kedua ketika kami betemu kembali setelah pada pertemuan sebelumnya kami hanya mampu mematung dari awal hingga akhir. Aku tahu semua yang terjadi pada hidupnya saat pertemuan kami yang pertama. Sebuah cerita pendek darinya membuatku terpaksa harus berbesar hati untuk menerima kenyataan dan kenyataan itu adalah alasan yang cukup kuat untuk membuatku tidak yakin kalau dia akan kembali memenuhi undangan makan malamku.

Semuanya diluar dugaanku. Dia datang, sendirian dan berdandan cantik sekali. Aku hanya mampu mematung didepan pintu ketika bel berbunyi dan dia tepat berdiri dihadapanku lalu berhamburan menubruk tubuhku. Dia memelukku, erat sekali. Pelan – pelan aku membalas pelukannya, menemukan kesadaran yang entah bersembunyi dibagian mana. Tanggisnya pecah dibahuku. Aku berusaha menenangkannya, menggiringnya bersandar di sova. Kukecup keningnya pelan, kubelai rambutnya, kugarisi lekuk wajahnya, kening hingga dagunya. Bibir kami bertemu, gemetar dan itulah ciuman pertama kami sejak terpisah hampir tujuh tahun lamanya.

Bagiku semuanya tetaplah sama seperti yang dikatakannya, tak ada apapun yang berubah. Hawa tubuhnya, kerlingan matanya, bau tubuhnya dan bahkan dia masih ingat benar nama panngilan yang diberikannya saat kami terjebak dalam evoria pelajaran astronomi yang membuat kami jatuh cinta pada kisah – kisah gugusan bintang. Dia memanggilku ‘Aquila yang berarti elang dan aku menamainya Corona Borealis yang berarti mahkota utara. Dan kalimat terakhirnya saat itu aku kembali percaya bahwa aku tetaplah menjadi elang yang terbang ke arah utara dimana mahkotaku berada.

Aku menuang segelas air putih, menimbulkan bunyi gemericik dan mendengarkan bunyinya hingga tetes terakhir. Aku memilih beranjak ke meja makan, meninggalkannya dan berharap situasi bisa kembali normal setelah jeda pendek yang aku ciptakan. Harus ada yang mengalah pada setiap gesekan – gesekan yang terjadi dalam hidup. Aku tak ingin mendesaknya untuk berkata jujur tentang apa yang terlintas dalam pikirannya hingga mengeluarkan kalimat penuh asumsi seperti itu. Aku hanya akan membuat situasi semakin panas dan terbakar adalah resiko yang akan terjadi apabila kupaksakan. Aku tak ingin kehilangannya sekali lagi atas dasar apapun.

Raut wajahnya berubah. Arak – arakan mendung berjejer menyelimuti matanya yang menurutku selalu cemerlang. Kusodorkan gelas berisi air putih yang kusedu khusus untuk menenangkan dirinya. Aku berharap dia meminumnya, tapi untuk bergerak saja sepertinya dia sungkan. Aku membuang tatapanku keluar jendela, mengalihkan kecemasan yang kudapati dari sorot matanya dan baru saja jariku menjentikkan korek api untuk menyalakan sebatang obat penenang, dia bergerak cepat dan berpindah tepat disampingku, menahan ibu jariku yang kembali akan menjentikan korek api.

“ aku bahagia ada didekatmu. Aku selalu mendambakan hidup bersamammu dengan situasi seperti apapun, hanya saja aku seperti tak punya daya untuk keluar dari lubang kecil tempat dimana aku bersembunyi. Aku tak pernah ingin semua ini berakhir, selamanya aku ingin tetap aman berada disampingmu tapi aku tak ingin terus mengerecoki hidupmu dengan menjadi benalu untukmu. Kamu berhak atas apa yang lebih pantas, kamu berhak atas apa yang lebih baik dan itu bukan aku. “
Tangannya kuat mencengkram bahuku, menjalarkan panas yang sudah coba kuminimalisir. Dia membakarku dengan kata – kata manis yang berakhir tragis. Aku merasa dia pura – pura tak mengenalku, melahirkan asumsi sendiri dan menikamku dengan tidak berfikir aku akan berdarah – darah setelah mendengarnya.

“ kamu bukan benalu. Kamu bukan orang yang membuat hidupku tak pantas aku banggakan. Kamu adalah setiap inci dari cerita yang berkejar – kejaran dikepalaku. Selalu berkejar – kejaran tak pernah berjalan. Aku tak menginginkan orang lain, aku Cuma ingin kamu “
Aku menghujam mata cemerlangnya yang kini kulihat dari sudut pandang yang lain. Dia terisak dan menangis. Terisak dan jelas kurekam. Suara terbata – bata.

“ aku memikirkanmu ‘ pram. Aku peduli dengan semua yang kau miliki dalam hidupmu. Tapi semua yang ada antara kita hanyalah pilihan tolol karena yang sepantasnya bukanlah seperti ini. Aku ingin kau lebih bisa memandang baik hidupmu, waktu terus berjalan dan cepat atau lambat kamu akan marah terhadap keadaan ini “

Mulutku terbungkam saat dia memilih berdiri, menyambar tas LV enam jutanya lalu bergerak kearah pintu. Aku sadar, selama ini aku hanya mampu menyaksikannya pulang. Bersama nya melewati sore hingga malam. Tapi aku tak pernah melihatnya dari malam hingga pagi. Aku tak pernah menyaksikannya pergi. Walaupun mampu melihatnya sepanjang hari adalah doa terbaik yang pernah selalu kupanjatkan dan kenyataan teristimewa yang aku miliki. Tapi ternyata aku hanya mampu melewati batas serta situasi
- situasi sulit dan semua itu adalah karenanya.

“ sejak situasinya berubah semua ini memang adalah pilihan yang tolol yang pernah ada. Tapi kita bukan dua orang totol ‘mi. kita saling menyayangi, kita saling menginginkan dan kamu paham benar itu “
Aku berusaha menahan langkahnya. Berusaha mengencangkan urat leher dengar meneriakan kenyataan yang sebenarnya dia pahami. Tapi dia terus melangkah dan aku tak kuasa untuk memburunya.

“ menurutku sebaiknya semua ini kita selesaikan sekarang ‘pram. Aku tak ingin melihatmu sakit dikemudian hari saat dunia kita tak lagi aman untuk kita. “ langkahnya berhenti dan dengan sedikit menoleh akhirnya apa yang aku takutkan terjadi “ aku tidak akan pernah kembali lagi padamu ‘pram “
Kudorong sisa – sisa hasrat dari nafas hidup yang membeku dalam beberapa menit terakhir, menyusulnya kedepan pintu tapi langkahnya konstan dan tak tertahankan. Dalam hati aku menghitung lirih, semoga dalam hitungan ketiga dia berbalik dan aku tahu dia tetap milikku tapi ternyata meleset. Tiga, emapt, lima dan tak ada lagi hitungan selanjutnya. Dia melangkah pasti dan aku tak kuasa mengejar karena dia yang menginginkan.

“ kalau kamu benar – benar tidak akan kembali lagi. Kalau kamu benar – benar tidak akan pernah pulang lagi kesini semoga itu bukan karena pertanyaan kamu yan tidak pernah aku jawab. Semoga itu juga bukan karena semua keinginan kamu yang tak aku penuhi karena sesungguhnya kamu tahu semua itu akan terjadi bila kamu tetap selamanya bersamaku dari pagi hingga pagi lagi, sepenjang hari, sepanjang waktu “

Dia terus melangkah lurus. Apa yang pecah dari bola matanya kutahu pasti mengucur deras. Aku tahu dia tetap ingin menangis dipelukku. Dan aku ingin sekali untuk tetap mampu meyakinkannya betapa aku baik – baik saja. Betapa aku tak akan pernah mengeluh dengan semua yang ada. Tapi ternyata yang aku hanya mampu terdiam dan merasa titik – titik air menggenangi kelopak mataku. dan akhirnya pecah juga.

---

Sebuah dus kecil didepan pintu membuatku bergegas melangkah. AKu hanya keluar kurang lebih sepuluh menit dan ketika keluar tadi tak ada apa – apa disana. Kuperhatikan dus yang terbungkus biasa tersebut. Meraih dan menggoyang – goyangnya penasaran hingga akhirnya tak mampu menahan dan memilih menyobek bungkusnya. Nafasku tercekat, dadaku tiba – tiba sesak, dan aku seperti tiba – tiba diserang asma. Sebuah baju hangat terlipat rapi didalam dus dan aku tahu siapa penggirimnya. Aku mencecerkan pandanganku ke berbagai sudut jalan dan berharap si pembawa kotak itu masih melihatku karena siapapun dia aku harus menanyakan beberapa hal.

Aku meraih baju hangat dengan bau yang sangat akrab itu dari tempatnya, sebuah amplop putih jatuh dari salah satu bagian. Semua ini benar – benar direncanakan. Dengan khidmat aku membuka amplop tersebut karena kutahu pengirimnya juga menginginkan aku tenang.

Pram’
Maaf aku menggusikmu lagi. Aku hanya ingin mengembalikan baju hangat pemberianmu. Ini satu – satunya barang yang tidak aku musnahkan karena berfikir untuk lebih baik dikembalikan padamu. Aku sudah bisa melupakanmu dan aku harap kau juga begitu. Anakku lahir dua bulan yang lalu. Abi kirim salam untukmu.


Surat pendek itu berakhir dengan lembaran berikut yang adalah gambar seorang bayi munggil didalam box tidur lengkap dengan ornament bintang – bintang. Bayi dua bulan itu tersenyum manis penuh pengertian.

Pelan – pelan kuhantarkan jasadku berdiri dan mengedarkan pandangku sekali lagi.

“ Perasaan ini memang terlalu tipis untuk melepasmu. Aku juga hanya mampu bersyukur jika bahagiamu adalah jawaban dari kepergianmu sebelas bulan yang lalu. Tapi semoga isi suratmu ini bukan kau buat hanya untuk menguatkanku. Aku akan tetap membujang dan memilih untuk tetap menjadi selingkuhanmu selamanya “

Aku berbicara pada baju hangat, surat dan gambar bayi munggil yang entah siapa namanya. Yaa allah, hati kecilku berdesis.

“ senyum anakmu seperti senyumku. Wajahnya juga “

---
Iphank dw
diposting juga di http://iphankdw.blogspot.com/

9.11 PM. 15.08.2009
( kalau bisa diriku menentukan takdir hidup ini, akan kutempatkan kau dirumah masa depan kita, bukan dilubang persembunyian kita sayang )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar