Rabu, 26 Agustus 2009

CERPEN : KATA IBU " Perempuan itu Kapal "


Kata ibu perempuan itu kapal. Laki – laki datang kedermaga, memilih kapal dan mengemudikannya ke laut bebas. Kata ibu, kapal itu harus kuat karena laut bebas yang akan diarungi itu sudah pasti luas dan laut luas itu sudah pasti buas dengan segala resiko sederhana yang ada didalamnya. Setiap kapal haruslah kuat untuk mampu menerima resiko yang akan dihadapinya. Hanya gelombang sajakah, badai besar atau malah mungkin tandas, karam dan tenggelam. Kata ibu perempuan itu kapal, dibawa pergi dengan hanya cukup diam dan menurut namun sebaik – baiknya kapal haruslah pandai – pandai bersyukur dan merasa yakin atas apa yang dimilikinya ketika harus melepas tali dari tautannya didermaga. Sekali lagi ibu bilang perempuan itu kapal dan aku adalah kapal yang ibu selalu bilang. Aku adalah perempuan dan aku adalah kapal. Begitu katanya.

Bagiku setiap kata yang meluncur dari bibir ibu adalah sabda. Suara alam yang menguatkanku betapa hidup sulit yang dengan kulit aku sentuh, dengan mata kurekam dan dengan hati aku cerna mampu menjadi pendar – pendar lampu yang menyala merah untuk melindungi dari gelap karena dinyalakan setelah magrib dan menjadi cahaya pertama yang dimiliki sebelum menjalani hari dibawah sinaran matahari karena dimatikan sebelum subuh. Bagiku ibu adalah nabi. Ibu adalah perasa, pemikir dan penentu tapi bagi ibu dengan filosofi ‘perempuan adalah kapal’ yang adalah ayat pertama dalam semua laku dan sikapnya ayahku adalah tuhan. Laki – laki yang datang kedermaga, memilihnya dan mengemudikannya ke laut luas.

Sering kali aku merasa kolot dengan semua asumsi ibu tentang perempuan yang adalah kapal. Bagiku zaman telah bertransformasi dengan segala macam paradigma baru dan perempuan tak lagi hanya bisa diam saja dan bisa menurut saja. Perempuan hari ini tak lagi harus dipaksakan untuk bersyukur atas apa yang sebenarnya membuatnya tertekan dan memendam sakit. Perempuan hari ini telah mampu berdiri sejajar dan duduk sama rata dengan laki – laki tapi aku selalu tak mampu memenangkan asumsi yang dikoar - koarkan media tentang kesetaraan gender tersebut. Begitu banyak yang kusentuh, begitu banyak yang kurekam dan begitu banyak juga yang kucerna dan kesemuanya itu adalah tentang ibu yang adalah kapal, tentang perempuan yang adalah kapal dan itu adalah alasan.

Kadang gamang aku melihat semua yang dimainkan ibu diatas pentasnya. Laut yang adalah misteri dijejalinya dengan pelan tapi pasti. Tak ada Tanya kecuali anggukan yang hadir bersamaan dengan kata ‘ya’ untuk semua permintaan. Dengan memilih menjadi kapal, ibu menjadi perempuan yang patuh dan menerima semua kejadian yang tergarisi dalam hidupnya. Tak ada belenggu patriarki dalam hidup perempuan yang ikhlas memilih menjadi kapal baginya.

Aku adalah anak kecil perempuan yang setiap paginya berdiri diam didepan pintu dapur menunggu ibu mengisi penuh bak mandi dan tempayan air minum dengan sebelumnya mengantri di tempat pengambilan air yang jaraknya seingatku lima rumah dari rumah kami lalu tergopoh –gopoh menjinjing bakul airnya sambil sekali – sekali berhenti ditengah perjalan untuk menyeka keringat dan membenarkan lengan bajunya yang sengaja digulung hingga tak adalagi tempat yang tak terisi dengan air lalu bergegas menyambar semua barang bawaanku dan melepasku didepan jalan untuk menumpang angkutan menuju mesjid raya tempat aku bersekolah.

Aku selalu menyentuh keletihannya dengan menggenggam tangan ibu yang kemerahan sehabis menenteng bakul air, aku merekam hampir semua yang yang diperankannya setiap hari. Ibu hanya dua kali bersamaku ke sekolah, yang pertama adalah ketika pertama kali aku masuk taman kanak – kanak tersebut dan yang kedua setahun kemudian ketika aku dinyatakan lulus dan berpindah ke sekolah dasar yang dipilihnya tidak jauh dari rumah. Ibu tak bisa setiap hari mengantarku kesekolah seperti orang tua murid lain, karena perempuan yang memilih menjadi kapal itu harus membanting adonan singkong berwarna merah muda dan dimasukan kedalam mesin yang diputar manual untuk menjadi gatuk yang akan dijualnya setiap pagi.
Mataku pelan – pelan terpejam. Seleksa wajah yang hidup dalam kenang nampak tersenyum seperti biasa. Ibu adalah kapal tangguh yang kuat menentang buasnya laut. Segala ombak juga badai mampu dihadapinya, tapi dia tidak pernah tandas, karam apalagi tenggelam. Semangatnya untuk diam dan berbakti sedikit demi sedikit mampu aku pahami.

Perempuan itu kapal dan memang harus tetap menjadi kapal bagimanapun zaman bermetorfosa. Perempuan boleh mampu berdiri sejajar dan duduk sama rata dengan laki – laki hari ini, tapi perempuan adalah kodrat satu tulang rusuk kiri yang harus menerima seberapa bengkok rusuk lain laki – lakinya. Dari ibu aku mengerti betapa walaupun dia telah memilih menjadi kapal yang hanya bisa diam dan bisa menurut pada kemudi nahkodanya, kebahagian adalah pelabuhan terakhir dari semua yang diperankannya.
Ibu melepasku dengan senyum biasa. Senyum yang disuguhkannya dari saat matanya terbuka hingga terpejam. Ibu menuai hasil atas semangat positif yang selalu dialirkannya kepada nakhodanya. Keluarga kecil yang tadinya berselaput mendung pelan – pelan memudar dan berganti sinaran lazuardi. Suaminya tak pernah mabuk lagi dan ibu tak lagi harus mengantri air setiap pagi juga berjualan gatuk karena roda sudah pasti berputar. Walau pelan tapi pasti dari bawah ke atas. Pasti

---

Rumah kami berubah menjadi sangat ramai beberapa bulan terakhir. laki – laki itu bagus sekali kurasa mengenakan batik. Aku jadi ibu bersanggul dan dia jadi ayah berpeci persis seperti puluhan tahun lalu. Aku yang adalah kapal dan dia yang adalah nahkoda dari kapalku akan melepas kapal baru yang nahkodanya kami restui sebagai jodoh.

Kupandangi dalam – dalam perempuanku yang raut wajahnya berseri. Sudah waktu rasanya aku harus menyampaikan rahasia yang bertahun – tahun lamanya aku simpan. Rahasia yang membuatku mampu mengarungi bahtera kehidupan setelah lajang. Rahasia turun temeurun yang kuyakini adalah ajimat sakti sebagai perlindungan setiap perempuan.

Aku akan melepas anak perempuanku yang akan menikah beberapa saat lagi

“ ibu akan mengatakan sesuatu padaku kan ? “

Anak perempuanku menangkap sorot mataku yang berkaca – kaca dan bibirku yang gemetaran. Aku tak ingin membuatnya cemas, aku bahagia telah sampai pada pelabuhan berikutnya. Aku akan meninggalkannya setelah ini. Kembali berlayar sendirian dengan terus memanjatkan doa suci yang selalu kukirim bersama nahkodaku kelangit untuk melindungi kapal yang kami buat dipelabuhan sebelumnya.

Kubenarkan posisi dudukku. Kualirkan gelombang percaya dari sorot mataku padanya, kurambati aliran yakin dengan menggenggam bahunya.

“ anakku. Ibu bilang perempuan itu kapal. Laki – laki datang kedermaga, memilih kapal dan mengemudikannya ke laut bebas. Perempuan yang adalah kapal akan menghadapi ombak, badai dan segala bentuk rintangan lainya. Kapal yang kuat tidak boleh menyerah untuk tandas, karam atau yang paling tragis; tenggelam. Perempuan yang memilih menjadi kapal harus ikhlas menerima semua yang digarisi didalam lembar hidupnya dan percaya bahwa nahkodanya akan membawanya kepelabuhan terakhir yang bernama kebahagiaan. “

Sekujur tubuhku dingin. Aku tahu perempuanku percaya dan yakin apa yang kuucapkan.dia juga merasa, merekam dan mencerna apa yang disaksikan pada hidup ibunya. Kurasakan keberadaan ibu di kamar pengantin anakku itu.

“ ibu hanya ingin kamu bahagia. Dan untuk bahagia tidaklah gampang. Kebahagiaan bukanlah barang mahal, tapi kebahagiaan juga bukan barang yang diobral dipinggir jalan. Kamu perempuan yang harus menjadi kapal. Jangan pernah bertanya mengapa nahkodamu menyakitimu atau bahkan meninggalkanmu, karna jika itu terjadi bertanyalah pada dirimu sendiri apa yang tidak mampu kau lakukan untuknya “
Anak perempaunku satu – satunya mengangguk. Tubuh kami bersatu. Tubuhnya, tubuhku juga tubuh ibuku. Perempuan yang memilih kapal akan berlayar dengan tangguh dan tak mengenal menyerah. Akan lahir Aisyah’ ra yang baru beberapa saat lagi seperti saat ibu melepaskanku dengan harapan mampu menjadi Ummu al mu’minin, ibu dari orang – orang beriman.
“ berlayarlah kelaut luas anak perempuanku. Kapalmu kuat dibesarkan gelombang “

-----
Iphank dw
08.22 pm – 19.08.09
( ditulis pada 21 April 2007 untuk kado ulang tahun ibu dan baru diselesaikan untuk bahan renungan pribadi; Laki – laki memilih kapal )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar